Jumat, 21 Juni 2013

SULTHANAN NASHIRA


SULTHANAN NASHIRA
(Kekuasaan yang Menolong Buah Investasi Spritual)

Dan Katakanlah: "Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong (QS. Al-Isra’/17: 80).

Al-Qur’an menyebut kata sulthan dengan berulang-ulang pada surat dan ayat yang berbeda-beda dengan redaksi dan isyarat makna yang berbeda-beda pula. Rahib Al-Ashfahani dalam kitabnya Mufradat li Alfazh al-Qur’an menjelaskan bahwa kata tersebut secara umum mempunyai dua makna, yakni: pertama kekuasaan, seperti yang terdapat dalam Surat an-Nahl/16: 99 dan 100, al-Isra’/17: 33 dan 80,  al-Qashash/28: 35 dan ar-Rahman/55: 33. Kedua bermakna hujjah suatu alasan atau bukti mengenai kebenaran, seperti yang terdapat dalam Surat Ali Imran/3:  151,  an-Nisa/4:  91, 144,dan 153, al-An’am/6:  81, al-‘Araaf/7:  33, al-Hajj/22: 71 dan ar-Rum/30: 35.

Tulisan ini akan mengupas sedikit terminologi sulthan yang pertama, yakni sulthan yang berarti kekuasaan seperti ayat yang dicantumkan di awal penulisan ini. Untuk lebih memudahkan kajian ini, mari kita fokuskan pikiran pada dua pertanyaan berikut. Pertama,  kekuasaan apa yang akan kita cari? Kedua,  bagaimana cara memperolehnya?

Hakekat Kekuasaan yang Menolong

Secara sederhana apabila kita merefleksikan kekuasaan, maka kita akan temukan kekuasaan yang menolong (sulthanan nashira), yang berarti lawannya adalah kekuasaan yang mencelakakan.  Selanjutnya jika kita tidak mempunyai petunjuk-petunjuk yang benar, maka kita tidak akan dapat membedakan kedua kekuasaan tersebut. Dengan demikian bisa jadi kita salah mencari dan memilih kekuasaan itu. Karena itu banyak orang yang katanya memilih kekuasaan yang menolong tapi ternyata justru kekuasaan yang dicari dan dipilihnya itu mencelakakan dirinya sendiri.

Seperti segolongan umat manusia yang bersekutu dengan iblis dan kejahatan. Mereka mencari kekuasaan dengan meminta perlindungan kepada segolongan jin, lalu dengan kekuasaan tersebut mereka dijerumuskan untuk melakukan perbuatan dosa dan kesalahan (QS. 72:6). Dan akhirnya mereka hancur, tidak berdaya, tidak ada yang bisa menyelamatkannya sebab perbuatan dosa dan kesalahan yang mereka lakukan  (QS. 40: 31).
 
Kekuasaan yang menolong  secara hakiki adalah kekuasaan atau kekuatan yang datangnya dari sisi Allah Swt., bukan sesuatu yang berupa fata morgana (bayang-bayang) yakni hal yang tidak sebenarnya (QS. 17: 80).  Kekuasaan yang menolong adalah kekuasaan yang diperoleh dengan cara yang benar dan digunakan juga di jalan yang benar. Kekuasaan tersebut dapat menjaga diri penyandangnya dari kejahatan-kejahatan musuh, menahan diri dari perbuatan-perbuatan dosa dan juga dapat mendorongnya untuk mengamalkan perbuatan yang benar dan lebih baik lagi.  

Usaha Mendapatkan Kekuasaan yang Menolong

Manusia diperintahkan untuk berikhtiar yakni berusaha memilih pilihan diantara opsi-opsi pilihan yang sudah disediakan oleh Allah Swt.  Begitu juga kita diperintahkan  untuk melilih kekuasaan-kekuasaan yang ada yang sudah disediakan oleh Allah, yakni kekuasaan yang menolong atau kekuasaan yang mencelakakan.  Tentunya secara fitrah dipastikan manusia akan memilih kekuasaan yang menolong, karena pada dasarnya semua manusia ingin mencapai kebahagiaan dan ketenangan hidup, baik hidup di dunia maupun kelak hidup di akhirat. Namun demikian realitanya mereka banyak yang salah memilih kekuasaan dan seterusnya menyalahgunakannya sehingga kekuasaan tersebut justru mencelakakan dirinya sendiri.

Ketetapan Allah Swt. tentang kekuasaan sudah jelas dan tidak akan berubah. Kekuasaan yang benar yang dapat menolong itu adalah milik Allah Swt.  dan akan diberikan kepada hamba-hambanya yang pantas untuk memikulnya. Kepantasan untuk dapat memikul kekuasaan Allah Swt. tersebut, sunnatullahnya diberikan kepada mereka yang banyak melakukan isvestasi spiritual dengan cara menjalankan perintah-perintah Allah dan menjahui larangan-larangan-Nya secara total. Hal ini seperti yang digambarkan pertolongan Allah kepada kaum Muhajirin dan Anshar di Madinah dari orang-orang kafir (QS. 59: 2 – 9).

Selanjutnya dalam teks hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah menjelaskan sebagai berikut:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - :« إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ - رواه البخاري

Dari Abu Hurairah Ra. Bersabda; Rasulullah Saw. bersabda; Sesungguhnya Allah Swt. berfirman;  Siapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka sesungguhnya Aku telah mengumumkan genderang perang padanya.  Dan  tidak ada sesuatu yang bisa menjadikan hamba-Ku dekat kepada-Ku  yang lebih Aku cintai ketimbang sesuatu yang sudah Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku yang terus-menerus mendekatkan diri kepada-Ku  dengan cara menjalankan ibadah-ibadah tambahan (sunnah) sehingga Aku mencintainya.  Maka apabila Aku telah mencintainya, jadilah Aku adalah pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat,  tangannya yang dia gunakan untuk memukul, kakinya yang dia gunakan untuk berjalan. Dan jika dia meminta kepada-Ku sungguh Aku akan memberinya, jika ia meminta perlindungan kepada-Ku pastilah Aku akan melindunginya. (H. R. Bukhari).

Jelas bahwa kekuasaan yang menolong adalah karunia Allah Swt.  Siapa saja yang mendapatkannya pastilah ia adalah seorang hamba pilihan-Nya  yang sudah menjadi satu diantara wal-wali-Nya. Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah bersedih dan tidak pernah pula khawatir dengan kehidupannya. Mereka beriman dan bertakwa kepada Allah (QS. 10: 62 – 63). Tidak pernah bersedih karena mereka tahu masa lalunya telah diisi dengan benar. Tidak pernah khawatir dengan masa depannya karena masa depannya sudah jelas dalam asuransi kebahagian yang hakiki yang diatur langsung oleh Pelindung dan Penjaminnya yakni Allah Swt.  Keyakinan mereka kuat dan terus istiqmah  menjalani kehidupannya dengan syariat yang benar (QS. 41: 30 32).

0 komentar:

Posting Komentar