This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 21 Juni 2013

RAHASIA DI BALIK PUASA (Enegi Bertahan yang Dahsyat)


RAHASIA DI BALIK PUASA
(Enegi Bertahan yang Dahsyat)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. Al-(Baqarah/2:183)
Setiap perintah dalam syari’at Islam pasti bernilai manfaat dan manfaat tersebut akan kembali pada pelakunya. Puasa merupakan pilar yang sangat penting dalam beragama. Ia merupakan perintah yang masuk dalam rukun Islam.  Maka apabila saudara mau memulai untuk mengkaji dan merenungkan hal ihwal syari’at berpuasa, tentu saudara tercengang sebab banyaknya hikmah yang tersimpan yang akan kembali pada kita. Puasa adalah pintu ibadah yang bernilai setengah dari kesabaran (al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din, Juz I, h. 231). Sementara kesabaran merupakan kunci untuk mendapatkan kekuatan yang berlipat ganda (QS. 8: 55 – 66)
Kehidupan dunia ini adalah sebuah permainan yang endingnya adalah kematian. Siapa yang mau memenangkan permainan dunia maka ia harus beriman dan bertakwa (QS. 47:36). Beriman artinya ia mempunyai visi yang jauh dan benar. Ia dapat melihat hakekat kebenaran di balik setiap realita kehiduapan. Dan bertakwa artinya ia dapat mengejawantahkan hakekat kebenaran tersebut menjadi missi kehidupannya, yakni menegakkan syai’at Islam dengan menjalankan semua yang diperintahkan dan menjahui semua yang dilarang.
Dalam sebuah permainan, pemain harus mengetahui kapan harus menyerang dan kapan harus bertahan. Begitu juga dalam kehidupan dunia ini, kita sebagai pemain harus mengetahui apa saja harus dikerjakan dan mengetahui apa saja yang harus ditinggalkan. Kita harus terus maju berbuat sesuatu yang bermanfaat, dan di sisi lain harus dapat menahan diri dari hal-hal yang akan mendatangkan madharat.
Puasa hakekatnya adalah pendidikan dan latihan untuk dapat mengatur diri supaya bisa menahan diri kita dari perbuatan-perbuatan yang tidak berguna dan dapat mencelakakan. Al-Ghazali dalam kitabnya Bidayah al-Hidayah menegaskan bahwa kesempurnaan puasa adalah dengan menahan semua anggota badan dari hal-hal yang dibenci Allah Swt. Demikian jika kita tidak mau mendapatkan nilai puasa yang hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga. Beberapa anggota badan kita yang diperintahkan untuk bisa dijaga dari perbuatan-perbuatan yang dibenci oleh Allah Swt. adalah sebagai berikut:
1.        Lisan, diperintahkan untuk dapat menahan diri dari uacapan-ucapan yang tidak dapat memberikan manfaat bagimu apalagi yang dapat merusak pahala puasa, yakni; bohong, ghibah, namimah dan sumpah palsu.
2.        Telinga, diperintahkan untuk dapat menahan diri dari mendengarkan apa-apa yang dilarang oleh Allah Swt. Karena orang yang mendengarkan itu sama dengan yang berkata-kata yaksi satu diantara dua orang yang melakukan perbuatan ghibah.
3.        Mata, diperintahkan untuk tidak melihat sesuatu yang menimbulkan keinginan-keinginan buruk.
4.        Begitu juga yang lain-lainnya, seperti perut,  kemaluan, tangan dan kaki ditahan supaya dapat meninggalkan perbuatan maksiat.
Dalam sebuah hadis Rasulullah Saw. dinyatkan bahwa “Puasa merupakan perisai, sebab itu apabila ada diantara kalian yang berpuasa, maka tidak boleh berkata-kata jorok, berbuat fasik dan berlaku bodoh. Bila ada yang mengajak berantam atau bertengkar mulut, maka katakan bahwa saya adalah orang yang berpuasa” (Muttafaq alaih)
Selanjutnya Al-Ghazali yang dikenal sebagai Hujjah al-Islam menegaskan dalam kitabnya Ihya Ulumuddin (Juz I, hlm. 234) bahwa nilai atau kualitas puasa seseorang itu dapat dikategorikan dalam tiga tingkatan:
1.        Puasa umum, yakni puasa yang hanya dapat menahan diri untuk tidak menuruti keinginan-keinginan yang  berurusan dengan perut dan kemaluan.
2.        Puasa khusus, yakni puasa yang dapat menahan pendengan, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan anggota-anggota tubuh lainnya dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah dan Rasulnya.
3.        Puasa khusus al-khusus, yakni puasa hati dan pikiran. Hati orang yang berpuasa dalam derajat ini dapat melupakan dunia, dan meninggalkan pikiran-pikiran yang bersifat duniawi. Hal dunia yang masih difikirkan adalah dunia yang dapat memberikan manfaat untuk menegakkan agamanya, karena yang demikian itu merupakan bagian dari bekal atau investasi akhirat.
Apabila kita teliti terus lalu kita fahami secara mendalam dalam sudut pandang keberhasilan manusia untuk memperoleh hakekat kebahagiaan, maka puasa merupakan strategi dan cara bertahan yang luar biasa dalam melangsungkan usaha dan permainan dari berbagai sergapan dan ancaman musuh. Dalam berbagai permainan strategi bertahan  sangat diperlukan, sebab bagaimanapun kita pandai melakukan aksi penyerangan tanpa adanya pertahanan yang kokoh ujungnya bisa jadi kalah. Berbuat yang bermanfaat dan menahan diri dari hal yang mencelakakan keduanya sangat diperlukan dalam mencapai sukses dunia dan akhirat (QS. 3: 104)

IKHLAS (Kajian Al-Qur’an dengan pendekatan teori Motivasi)


IKHLAS
(Kajian Al-Qur’an dengan pendekatan teori Motivasi)

Menurut bahasa Ikhlas berarti membersihkan sesuatu.  Al-Qusyairy menegaskan bahwa Ikhlas adalah menyengaja melakukan ketaatan hanya karena Allah dalam rangka mendekatkan  diri kepada-Nya.  Keikhlasan dinyatakan dengan niat, dalam semua perkataan, perbuatan dan sikap, baik bersifat  lahir maupun batin. Niat harus dilakukan di awal dan terus dihadirkan sepanjang kegiatan sampai berakhirnya kegiatan tersebut. Jika terjadi penyimpangan atau perpindahan niat sebelum berakhirnya kegiatan, maka harus segera diluruskan dengan cara memperbaharuinya kembali. Imam Asy-Syuyuti dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa Ikhlas itu tidak akan bisa ditanamkan dalam jiwa seseorang tanpa dengan niat.
Niat yang ikhlas yang terdapat dalam diri seseorang dalam menjalankan tugas kemanusiaanya sebagai hamba Allah Swt. merupakan bukti adanya kekuatan spiritual yang terdapat di dalam dirinya. Kekuatan tersebut akan berubah menjadi bahan energi yang dahsyat dan tidak akan pernah habis lagi tidak terkalahkan ketika dihadapkan pada berbagai tantangan dalam setiap mengemban tugas seberat apa pun. Kenapa? Karena orang yang ikhlas diback up dan dijamin langsung oleh Dzat Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS. 15: 39 – 42, 38: 82 – 84).
Menurut sudut pandang teori psikologi, niat dalam kaitannya dengan perbuatan seseorang disejajarkan dengan teori motivasi, yakni An internal condition that appears by inference to initiate, activate, or maintain goal-directed behavior (suatu kondisi internal yang muncul untuk berinisiative, beraktivitas atau menjaga konsistensi kegiatan yang langsung berkaitan dengan tujuan) Motivasi sebagai pemicu, penggerak, dan penyemangat dalam melakukan suatu pekerjaan tentunya tidak akan lepas dari kebutuhan pelakunya. Berdasarkan kesadaran akan kebutuhan diri inilah kuat tidaknya motivasi seseorang akan terbentuk.
Seseorang yang kesadaran dirinya akan kebutuhan baru dalam pencapaian kebutuhan fisik akan berbeda nilai motivasi yang dimilikinya dengan orang yang kesadaran dirinya dalam pemenuhan kebutuhan sudah mencapai tingkat aktualisasi diri (Maslow’s Theory of motivation). Selanjutnya apabila kita komparasikan dengan teori kebutuhan dalam perspektif Islam dalam hubungannya dengan niat seseorang yang kesadaran dirinya akan kebutuhan baru dalam pencpaian kebutuhan jasmani yang bersifat duniawi jelas akan berbeda nilainya dengan orang yang kesadaran dirinya sudah mencapai kebutuhan ruhani yang visinya mencapai kehidupan sesudah kematian.

Niat yang ikhlas adalah pemicu, penggerak dan penyemangat dalam melakukan sesuatu yang didasari oleh nilai-nilai ketauhidan yang murni. Akibatnya si pelaku mempunyai pendirian yang kokoh dalam menyelesaikan pekerjaannya, dan siapa pun tidak akan dapat membelokkannya di tengah jalan. Visinya jelas mencapai ridha Allah Swt. Dan misinya juga jelas menjalankan syariat-Nya. Jalannya pun lurus, terus tanpa henti menuju hakekat kebahagiaan yang abadi.

اللَّهُمَّ بِعِلْمِكَ الْغَيْبَ وَقُدْرَتِكَ عَلَى الْخَلْقِ أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الْحَيَاةَ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا عَلِمْتَ الْوَفَاةَ خَيْرًا لِي وَأَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِي الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ وَكَلِمَةَ الْإِخْلَاصِ فِي الرِّضَا وَالْغَضَبِ وَأَسْأَلُكَ نَعِيمًا لَا يَنْفَدُ وَقُرَّةَ عَيْنٍ لَا تَنْقَطِعُ وَأَسْأَلُكَ الرِّضَاءَ بِالْقَضَاءِ وَبَرْدَ الْعَيْشِ بَعْدَ الْمَوْتِ وَلَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ ضَرَّاءَ مُضِرَّةٍ وَفِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِينَةِ الْإِيمَانِ وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِينَ
Artinya:
Ya Allah…, dengan ilmu-Mu terhadap yang ghaib, kuasa-Mu terhadap apa yang Kau Ciptakan. Hidupkan aku, pada apa yang Engkau ketahui ada kebaikan pada kehidupan bagiku. Wafatkan aku, apabila Engkau ketahui pada kematian itu terdapat kebaikan bagiku. Aku minta kepada-Mu untuk dapat takut kepada-Mu dalam urusan yang ghaib dan yang nyata. Aku minta kepadamu kalimat al-Ikhlas (tetap dalam ketauhidan) dalam keadaan yang   rela dan marah. Aku mohon kepada-Mu kenikmatan yang dak habis, ketentraman hati yang tak terputus. Aku mohon keridhaan kepada-Mu dengan putusan-putusan takdir-Mu, sejuknya kehidupan sesudah kematian, indahnya perasaan hamba dalam memandang wajah-Mu, dan keriduan yang mendalam untuk bersua dengan-Mu. Aku berlindung kepada-Mu dari  malapetaka yang membahayakan, dan fitnah yang menyesatkan. Ya Allah … hiasi kami dengan kelezatan iman dan berikan petunjuk kepada kami sebagaimana hidayah yang diberikan kepada orang-orang yang mendapat petunjuk.

SULTHANAN NASHIRA


SULTHANAN NASHIRA
(Kekuasaan yang Menolong Buah Investasi Spritual)

Dan Katakanlah: "Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong (QS. Al-Isra’/17: 80).

Al-Qur’an menyebut kata sulthan dengan berulang-ulang pada surat dan ayat yang berbeda-beda dengan redaksi dan isyarat makna yang berbeda-beda pula. Rahib Al-Ashfahani dalam kitabnya Mufradat li Alfazh al-Qur’an menjelaskan bahwa kata tersebut secara umum mempunyai dua makna, yakni: pertama kekuasaan, seperti yang terdapat dalam Surat an-Nahl/16: 99 dan 100, al-Isra’/17: 33 dan 80,  al-Qashash/28: 35 dan ar-Rahman/55: 33. Kedua bermakna hujjah suatu alasan atau bukti mengenai kebenaran, seperti yang terdapat dalam Surat Ali Imran/3:  151,  an-Nisa/4:  91, 144,dan 153, al-An’am/6:  81, al-‘Araaf/7:  33, al-Hajj/22: 71 dan ar-Rum/30: 35.

Tulisan ini akan mengupas sedikit terminologi sulthan yang pertama, yakni sulthan yang berarti kekuasaan seperti ayat yang dicantumkan di awal penulisan ini. Untuk lebih memudahkan kajian ini, mari kita fokuskan pikiran pada dua pertanyaan berikut. Pertama,  kekuasaan apa yang akan kita cari? Kedua,  bagaimana cara memperolehnya?

Hakekat Kekuasaan yang Menolong

Secara sederhana apabila kita merefleksikan kekuasaan, maka kita akan temukan kekuasaan yang menolong (sulthanan nashira), yang berarti lawannya adalah kekuasaan yang mencelakakan.  Selanjutnya jika kita tidak mempunyai petunjuk-petunjuk yang benar, maka kita tidak akan dapat membedakan kedua kekuasaan tersebut. Dengan demikian bisa jadi kita salah mencari dan memilih kekuasaan itu. Karena itu banyak orang yang katanya memilih kekuasaan yang menolong tapi ternyata justru kekuasaan yang dicari dan dipilihnya itu mencelakakan dirinya sendiri.

Seperti segolongan umat manusia yang bersekutu dengan iblis dan kejahatan. Mereka mencari kekuasaan dengan meminta perlindungan kepada segolongan jin, lalu dengan kekuasaan tersebut mereka dijerumuskan untuk melakukan perbuatan dosa dan kesalahan (QS. 72:6). Dan akhirnya mereka hancur, tidak berdaya, tidak ada yang bisa menyelamatkannya sebab perbuatan dosa dan kesalahan yang mereka lakukan  (QS. 40: 31).
 
Kekuasaan yang menolong  secara hakiki adalah kekuasaan atau kekuatan yang datangnya dari sisi Allah Swt., bukan sesuatu yang berupa fata morgana (bayang-bayang) yakni hal yang tidak sebenarnya (QS. 17: 80).  Kekuasaan yang menolong adalah kekuasaan yang diperoleh dengan cara yang benar dan digunakan juga di jalan yang benar. Kekuasaan tersebut dapat menjaga diri penyandangnya dari kejahatan-kejahatan musuh, menahan diri dari perbuatan-perbuatan dosa dan juga dapat mendorongnya untuk mengamalkan perbuatan yang benar dan lebih baik lagi.  

Usaha Mendapatkan Kekuasaan yang Menolong

Manusia diperintahkan untuk berikhtiar yakni berusaha memilih pilihan diantara opsi-opsi pilihan yang sudah disediakan oleh Allah Swt.  Begitu juga kita diperintahkan  untuk melilih kekuasaan-kekuasaan yang ada yang sudah disediakan oleh Allah, yakni kekuasaan yang menolong atau kekuasaan yang mencelakakan.  Tentunya secara fitrah dipastikan manusia akan memilih kekuasaan yang menolong, karena pada dasarnya semua manusia ingin mencapai kebahagiaan dan ketenangan hidup, baik hidup di dunia maupun kelak hidup di akhirat. Namun demikian realitanya mereka banyak yang salah memilih kekuasaan dan seterusnya menyalahgunakannya sehingga kekuasaan tersebut justru mencelakakan dirinya sendiri.

Ketetapan Allah Swt. tentang kekuasaan sudah jelas dan tidak akan berubah. Kekuasaan yang benar yang dapat menolong itu adalah milik Allah Swt.  dan akan diberikan kepada hamba-hambanya yang pantas untuk memikulnya. Kepantasan untuk dapat memikul kekuasaan Allah Swt. tersebut, sunnatullahnya diberikan kepada mereka yang banyak melakukan isvestasi spiritual dengan cara menjalankan perintah-perintah Allah dan menjahui larangan-larangan-Nya secara total. Hal ini seperti yang digambarkan pertolongan Allah kepada kaum Muhajirin dan Anshar di Madinah dari orang-orang kafir (QS. 59: 2 – 9).

Selanjutnya dalam teks hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah menjelaskan sebagai berikut:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - :« إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ - رواه البخاري

Dari Abu Hurairah Ra. Bersabda; Rasulullah Saw. bersabda; Sesungguhnya Allah Swt. berfirman;  Siapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka sesungguhnya Aku telah mengumumkan genderang perang padanya.  Dan  tidak ada sesuatu yang bisa menjadikan hamba-Ku dekat kepada-Ku  yang lebih Aku cintai ketimbang sesuatu yang sudah Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku yang terus-menerus mendekatkan diri kepada-Ku  dengan cara menjalankan ibadah-ibadah tambahan (sunnah) sehingga Aku mencintainya.  Maka apabila Aku telah mencintainya, jadilah Aku adalah pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat,  tangannya yang dia gunakan untuk memukul, kakinya yang dia gunakan untuk berjalan. Dan jika dia meminta kepada-Ku sungguh Aku akan memberinya, jika ia meminta perlindungan kepada-Ku pastilah Aku akan melindunginya. (H. R. Bukhari).

Jelas bahwa kekuasaan yang menolong adalah karunia Allah Swt.  Siapa saja yang mendapatkannya pastilah ia adalah seorang hamba pilihan-Nya  yang sudah menjadi satu diantara wal-wali-Nya. Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah bersedih dan tidak pernah pula khawatir dengan kehidupannya. Mereka beriman dan bertakwa kepada Allah (QS. 10: 62 – 63). Tidak pernah bersedih karena mereka tahu masa lalunya telah diisi dengan benar. Tidak pernah khawatir dengan masa depannya karena masa depannya sudah jelas dalam asuransi kebahagian yang hakiki yang diatur langsung oleh Pelindung dan Penjaminnya yakni Allah Swt.  Keyakinan mereka kuat dan terus istiqmah  menjalani kehidupannya dengan syariat yang benar (QS. 41: 30 32).

Kamis, 20 Juni 2013

Keadilan Sejahtera atau Keadilan Kebijaksanaan


KEADILAN SEJAHTERA ATAU KEADILAN DAN KEBIJAKSANAAN
(Refleksi tentang Arti Sebuah Nama Lembaga dengan Falsafah Pancasila)
Maaf jika logika saya salah, biasanya suatu nama lembaga atau perkumpulan dibuat mencerminkan tujuan yang akan dicapainya. Misalnya saya menyarankan pemberian nama majlis taklim yang saya asuh di sebuah tempat dengan nama “Al-Fudhala” itu dengan maksud jamaah pengajian yang mengikuti majlis taklim tersebut kelak menjadi orang-orang yang utama, berkualitas tinggi dalam pandangan Allah Swt.. Sehingga membentuk orang-orang yang utama itu secara otomatis menjadi visi majlis taklim.
Selanjutnya pengurus majlis taklim “Al-Fudhala” menyusun draff kebijakan-kebijakan berupa aturan-aturan main majlis tersebut untuk ditetapkan sebagai AD/ARTnya. Kebijakan dan aturan-aturan yang dibuat tentunya tidak boleh menyimpang dari visi membentuk jamaah yang utama dan berkualitas tinggi di hadapan Allah Swt. AD/ART dan aturan-aturan lainnya yang digunakan untuk menjalankan majlis taklim dalam rangka menuju visi tersebut menjadi missi yang harus dilaksakan oleh semua orang atau jamaah yang terlibat dalam majlis.
Apabila saya benar memberikan arahan memberikan nama, membentuk visi, missi dan aturan-aturan mainnya, kemudian semua orang yang terikat dengan majlis taklim “Al-Fudhala” berkenan dengan senang hati menjalankannya,  niscaya cita-cita mengantar jamaahnya menjadi orang-orang yang utama dan berkualitas di hadapan Allah Swt. akan terwujudkan.
Bagaimana dengan Keadilan Sejahtera atau Keadilan Kebijaksanaan? Menurut logika saya akan lebih tepat dengan Keadilan Kebijaksanaan dengan dua argumen sebagai beriku:
1.         Keadilan semestinya dipasangkan dengan sosial (masyarakat). Keadilan akan menjadi pondasi dalam membentuk masyarakat yang berbudaya tinggi apabila dapat ditegakkan dalam semua lapisan kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika keadilan sudah ditegakkan apalagi sudah menjadi budaya bangsa, maka rakyat akan merasa aman dan dilindungi hak-haknya. Biarkan mereka mencari kesejahteraannya masing-masing, lembaga cukup mendorong mereka untuk terus berinvestasi kebaikan. Dan serahkan kesejahteraan mereka sepenuhnya kepada Allah Swt. Sang Penentu nasib manusia. Karena kesejahteraan itu bagian dari nasib manusia yang hanya bisa dipelajari, dianalisis dan diusahakan, sementara keputusannya ada dalam kuasa Sang Penentunya. Bayak kejadian orang memperjuangkan kesejahteraan orang lain alih-alih yang diperjuangkan kesejahteraannya sendiri. Kenapa? Karena salah visi dan keyakinan, mereka yakin kalau kesejahteraan itu bersifat materi dan didapat dengan kerja kesas meski dengan melakukan apa yang dilarang oleh Dzat yang Memberi kesejahteraan itu. Visi dan keyakina hidup itu salah, yang benar kesejahteraan yang hakiki itu didapatkan oleh seseorang setelah melakukkan hal yang benar dan bermanfaat, sesuai dengan ridha-Nya.
2.         Keadilan semestinya dipasangkan dengan Kebijaksanaan. Adil belum sempurna jika belum berpasangan dengan bijaksana. Seorang yang mengendarai mobilnya melewati rambu lalu lintas lampu hijau itu benar dan berarti ia adil, tetapi kalau tiba-tiba ada ambulance yang membawa pasien yang darurat lalu ia tidak mau mengalah ia tabrak ambulance itu, maka ia belum bijaksana, masih egois (mengambil kebutusan berdasarkan kepentingannya sendiri tidak peduli orang lain yang lebih berhak).  Yang terjadi sekarang mengatas namakan kepentingan bersama. Bersama yang mana? Golongannya sendiri?
Memang nama Keadilan Kebijaksanaan kedengarannya masih janggal, tapi menurut saya filosofinya Pancasila banget. Visinya sulit dibelokkan oleh iblis dalam rangkan untuk kepentingan pribadi dibandingkan dengan keadilan sejahtera. Karena dengan kata kebijaksanaan itu secara jelas tidak dibenarkan bersikap egois dalam mengambil kebijakan (keputusan) dibanding dengan sejahtera yang masih umum yang bisa jadi untuk dirinya sendiri atau golongannya. Wallahu ‘Alam bi ash-Shawab.

Sabtu, 08 Juni 2013

Tafsir Surat adh-Dhuha



TAFSIR SURAT AL-DHUHA

A.  Indikator Keberhasilan
Setelah mempelajari bab tentang tafsir surat Al-Dhuha, diharapkan Saudara dapat menguasi kemampuan-kemampuan khusus sebagai berikut: Pertama menterjemahkan teks ayat perayat dari surat Al-Dhuha dengan benar. Kedua, mengidentifikasi dan menjelaskan kata kunci (musfradat) yang dapat digunakan untuk menjelaskan kandungan makna dari ayat-ayat yang terdapat dalam surat Al-Dhuha. Ketiga, Ketiga, menjelaskan kandungan makna surat Al-Dhuha dengan benar. Keempat, menerapkan kandungan makna surat Al-Dhuha dalam hidup sehari-hari.

B.  Materi Inti 1 Tafsir Surat Al-Dhuha

a.      Teks Ayat dan Terjemah
Artinya:
1.  Demi waktu matahari sepenggalahan naik,
2.  Dan demi malam apabila telah sunyi (gelap),
3.  Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu.
4.  Dan Sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan).
5.  Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu , lalu (hati) kamu menjadi puas.
6.  Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?
7.  Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.
8.  Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.
9.  Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu Berlaku sewenang-wenang.
10.                  Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya.
11.  Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.

b.      Kata Kunci (Mufradât)

Untuk memahami dan menjelaskan tafsir Surat Al-Dhuha Saudara dapat mengambil beberapa kata kunci (Mufradât) sebagai berikut:
الضُّحَى/al-Dhuha = waktu dhuha. Waktu pagi hari antara terbit matahari dan naiknya kira-kira setinggi tombak sampai condong ke barat (Al-Jazairi/IV: 409). Menurut suatu pendapat, waktu siang seluruhnya, hal ini didasarkan pada ayat sesudahnya  yang memperlawankannya dengan siang (Sayyid Al-Thanthawi, 4524)
الْآخِرَةُ/al-Akhirah= akhir. Akhir tidak hanya bermakna hari akhir, hari sesudah kehancuran. Menurut  bahasa  bisa juga dari sesuatu sebagai lawan kata awal.
تَرْضَى/tardha= engkau rela. Hari merasa enak dan senang karena tidak ada yang dibencinya
يَتِيمًا/yatim= anak yatim. Seorang anak yang telah ditinggal mati oleh bapaknya sebelum kelahirannya atau sebelum baligh. Yatim juga dapat diartikan sebagai anak-anak yang hak keanakannya terampas.
ضَالًّا/dlallan = sesat. Lawan dari petunjuk yakni tidak makrifat agama dan petunjuk,
عَائِلًا/’ailan = fakir. Fakir dari gemerlapan duniawi (Ibn Ajibah/VII:97) asalnya miskin kemudian menjadi kaya.



c.       Tafsir Ayat

Surat ini terdiri atas 11 ayat, termasuk golongan surat Makiyyah karena diturunkan sesudah Nabi Saw. Hijrah ke Madinah. Ia diturunkan sesudah surat Al Fajr. Sedang nama Al-Dhuha diambil dari kata yang terdapat pada ayat pertama, artinya : waktu matahari sepenggalahan naik.
Ada beberapa riwayat berkenaan dengan diturunkannya Surat Al-Dhuha ini. Riwayat-riwayat tersebut diantaranya adalah sebagai berikut;
عَنْ الْأَسْوَدِ بْنِ قَيْسٍ أَنَّهُ سَمِعَ جُنْدُبًا يَقُولُ أَبْطَأَ جِبْرِيلُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ الْمُشْرِكُونَ قَدْ وُدِّعَ مُحَمَّدٌ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ { وَالضُّحَى وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى } (رواه مسلم في صحيحه : 3354)
Dari Al-Aswad bin Qais sesungguhnya ia mendengar Jundab berkata, Jibril lama tidak dating kepada Rasulullah Saw. Sebab itu orang-orang Musyrik berkata – memprofokasi Nabi – Sungguh Muhammad telah ditinggalkan. Lalu turunlah Surat Al-Dhuha ayat 1 – 3. (H. R. Muslim)
Riwayat lain dari Jundab bin Abu Sufyan bahwa ketika Rasulullah Saw. lama tidak menerima wahyu, beliau tidak keluar dua atau tiga malam. Kemudian datanglah seorang perempuan yakni Ummu Jamil, istri Abu Lahab berkata kepada Nabi. Wahai Muhammad sesungguhnya aku sangat berharap temanmu meninggalkanmu. Aku belum melihatnya dua atau tiga malam. Lalu turunlah surat Al-Dhuha (Ibn. Katsir/8:450)
Para mufassir berkata bahwa Nabi Saw. ditanya oleh orang Yahudi tentang Dzul Qarnain, Ashhab Al-Kahfi dan ruh. Lalu Nabi Saw. menjawab besok saya jawab dengan tidak mengucap insya Allah. Sebab itu ditahanlah wahyu kepada beliau. Menurut riwayat Zaid bin Aslam sebab terputusnya wahyu karena adanya anjing (Ibn. Katsir/8:450)
Untuk mengawali informasi tentang kecintaan Allah Swt. kepada hamba-Nya Muhammad Saw. Dia menggunakan sumpah. Ini menunjukkan bahwa informasi ini sangat penting. Dia berfirman “Demi waktu matahari sepenggalahan naik, Dan demi malam apabila telah sunyi (gelap), Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu”.
Pada ayat tiga di atas, sebagai jawab qasam  (sumpah) Allah menegaskan bahwa Dia sebagai Tuhan yang Maha Memelihara, tetap bersama Rasul-Nya. Dia juga tetap mencintainya.  Hal ini dibuktikan dengan ayat selanjutnya.
Allah Swt. beritakan bahwa sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan). Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas. Imam Al-Thabari bahwa yang dimaksud akhirat dalam ayat empat tersebut di atas adalah negri akhirat, sebuah negri yang dijanjikan lebih baik dari dunia seisinya. Sebab itu tidak perlu sedih kehilangan dunia karena sesungguhnya yang Allah berikan kelak di akhirat itu lebih baik (Al-Thabari/24:487).
Allah Swt. akan menganugrahkan sesuatu yang membuat Nabi Saw. Akan merasa lega dan puas atas hasil dakwahnya  di dunia. Karena semua umatnya dapat terangkat dari siksaan api neraka.
Dan bukti Allah Swt. selalu dan tetap menyayangi Rasul-Nya  Dia selalu menjaga, menunjuki dan menyediakan fasilitas kehidupan Rasul. Seanjutnya  Allah Swt. menyebutkan berbagai nikmat yang telah diberikan sebelumnya. Sebagaimana  ditegaskan dalam ayat berikut ini.
Ketiga ayat tersebut di atas menjelaskan tentang keadaan Rasulullah Saw. sebelum diangkat menjadi rasul (Ibn. Jarir/24:488). Allah tegaskan dengan istifham ingkari (pertanyaan retoris) “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.”
Kemurahan dan rahmat Allah Swt. kepada Nabi Saw. sebelum diangkat menjadi nabi diwujudkan dalam tiga hal yaitu perlindungan, bimbingan petunjuk dan fasilitas hidup yang cukup. Ketiganya merupakan nikmat yang sangat besar yang dapat menyelamatkan siapapun yang dikaruniakan kepadanya.
Untuk itu, Nabi Saw. diberikan resep (petunjuk) supaya nikmat tersebut menjadi abadi dan tidak dicabut oleh Allah Swt. dengan ayat berikutnya, yaitu;
Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu Berlaku sewenang-wenang dengan berbuat zdalim (aniaya) dan menghilangkan hak-hak sebagai anak. Dan terhadap orang yang minta-minta orang-orang yang membutuhkan bantuan finansial kepadamu, janganlah kamu menghardiknya dengan  tidak merendahkan derajatnya dan menyakitinya atau dengan berkata baik bila terpaksa tidak dapat memberinya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu yakni taufiq dan hidayah agama, maka hendaklah kamu siarkan.
Menurut Al-Jazairi  kandungan makna yang dapat diambil dari surat Al-Duha antara lain adalah sebagai berikut:
1.      Urusan dunia tidak akan pernah lepas dari kesulitan dan penderitaan.
2.      Syariat yang memerintahkan untuk membicarakan tentang nikmat yang dikarunikan kepada hamba Allah dan musibah  yang ditimpakan kepadanya, supaya bisa bersyukur dan bersabar
3.      Kewajiban mensyukuri nikmat Allah dengan cara mentasarufkan apa yang ditrimanya sesuai dengan kehendak yang memberikannya.
4.      Penegasan makan satu  di antara hadis Nabi Saw. yang mengatakan bahwa  “Apabila Allah mengaruikan nikmat kepada seorang hamba, maka akan lebih baik pengaruhnya apabila diceritakan kepada  yang lain.